Isu-Isu Pendidikan Islam

                                                         PEMBAHASAN
A.Kedudukan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. Pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua. Namun demikian Undang-Undang ini mengamanatkan tersusunnya Undang-Undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini.[1]
Sistem pendidikan nasional merupakan sarana formal dalam membentuk manusia indonesia yang bersifat utuh yakni manusia yang bertaqwa, cerdas, terampil, berbudi luhur, dan berkepribadian Indonesia.[2] Pendidikan Islam dan pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini dapat ditelusuri dari 3 segi, pertama dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional itu sendiri, kedua dari hakikat pendidikan islam dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia, ketiga dari segi kedudukan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional.[3]
Sebelum UU Sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan belum diakui sederajat dengan pendidikan formal lain, yang diakui baru madrasah, yaitu: melalui UUSPN No. 2 1989 dan madrasah diklasifikasikan menjadi pendidikan umum berciri khas Islam. Pada UU Sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan berdiri sendiri menjadi salah satu jenis pendidikan yang kemudian diakui negara sederajat dengan jenis pendidikan di madrasah dan sekolah.  Sebelum UU Sisdiknas 2003 pemerintah melalui KHA Wahid Hasyim selaku menteri agam, sebelumnya beliau melakukan pembaharuan pendidikan agama Islam melalui peraturan menteri agama No. 3 tahun 1950. Yang menginstruksikan pemberian pembelajaran umum di Madrasah dan sekolah-sekolah umum. Persaingan dengan madrasah modern membuat pesantren beramai-ramai mengadopsi madrasah ke dalam pesantren.
Madrasah pasca UU Sisdiknas 2003 dapat dikatakan telah membuat madrasah terintegrasi kedalam sistem pendidikan nasional, hal ini dapat diuraikan: Pertama, pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenis pendidikan. Kedua, dalam sistem pendidikan nasional, madrasah dengan sendirnya dimasukkan dalam kategori jalur sekolah. Ketiga, meskipun madrasah diberi status pendidikan jalur sekolah, tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem pendidikan nasional. Madrasah memiliki jurusan khusus ilmu-ilmu syariah. Pada jurusan ini, 70 % muatan kurikulumnya adalah bidang-bidang agama.[4]

B. Pendidikan Islam di Sekolah Umum dan di Madrasah
1.  Pendidikan Islam di Sekolah Umum
Pendidikan agama islam di sekolah umum merupakan suatu gebrakan dalam pembaharuan dalam pendidikan. Pada masa penjajahan, agama tidak mendapat tempat di sekolah umum. Pendidikan agama dianggap hanya diberikan oleh keluarga, bukan di sekolah. Kolonial Belanda sangat gencar menghambat perkembangan pendidikan agama di sekolah umum. Kemudian setelah kemerdekaan eksistensi pendidikan agama di sekolah umum sedikit demi sedikit mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang sangat signifikan. Sehingga akhirnya pada Undang-Undang No. 20 /2003 pendidikan agama diselenggarakan tidak hanya oleh pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan pemeluk agama telah diperbolehkan untuk berpartisipasi menyelenggarakan melalui jalur formal, nonformal dan informal.
Upaya pendidikan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, memberikan makna perlunya pengembangan seluruh dimensi aspek kepribadian seluruhnya secara seimbang dan selaras. Konsep manusia seutuhnya harus dipandang dari unsur jasad, akal, dan kalbu serta aspek kehidupannya sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Kesemuanya harus berada dalam kesatuan integralistik yang bulat. Pendidikan agama perlu diarahkan untuk mengembangkan iman, akhlak, hati nurani, budi pekerti serta aspek kecerdasan dan keterampilan sehingga terwujud keseimbangan. Dengan demikian, pendidikan agama secara langsung akan mampu memberikan kontribusi terhadap seluruh dimensi perkembangan manusia Indonesia.[5]
Dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang objeknya adalah pribadi anak yang sedang berkembang, maka adanya hubungan timbal balik antara penanggung jawab pendidikan, yaitu yang di dalamnya terdiri dari kepala sekolah, para guru, staf ketata usahaan, orang tua dan anggota keluarga lainnya mutlak diperlukan. Hal ini bukan hanya karena peserta didik masih memerlukan perlindungan dan bimbingan sekolah dan keluarga tersebut, tetapi juga pengaruh pendidikan dan perkembangan kejiwaan yang diterima peserta didik dari kedua lingkungan tersebut tidak boleh menimbulkan pecahnya kepribadian anak.
Dengan kata lain, suatu kerjasama antara penanggung jawab pendidikan tersebut perlu di intensifkan, baik melalui usaha guru-guru di sekolah maupun orang tua murid. Pertemuan antara kedua pendidik (guru dan orang tua) perlu diadakan secara periodik, kunjungan guru ke rumah orang tua murid yang diatur secara periodik untuk saling mengadakan pertukaran pikiran dan pendapat tentang anak didiknya adalah merupakan kegiatan padagogis yang sangat penting artinya bagi usaha menyukseskan pendidikan agama. Melalui cara demikian, guru akan memperoleh petunjuk-petunjuk yang berharga yang dapat digunakan guna pendidikan anak di sekolah. Perlu diingat bahwa dalam pelaksanaan pendidikan agama harus memerhatikan prinsip dasar sebagai berikut :
a.    Pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
b.    Pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.
c.    Pendidikan agama harus dapat menumbuhkan sikap kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d.   Pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
e.    Satuan pendidikan yang berciri khas agama dapat menciptakan suasana keagamaan dan menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan, seperti tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalamannya.[6]

2.  Pendidikan Islam di Madrasah
Madrasah (Bahasa Arab) berarti tempat untuk belajar. Persamaan Madrasah dalam Bahasa Indonesia adalah “sekolah”, dengan konotasi yang khusus yaitu sekolah-sekolah agama Islam. Tempat belajar adalah tempat untuk mengajarkan dan memperlajari ajaran-ajaran agama Islam, ilmu pengetahuan dan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Sekitar abad ke-19, pemerintah Belanda mulai memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat, sehingga hal itu sedikit banyak mempengaruhi sistem pendidikan yang telah berkembang di Indonesia, termasuk pesantren yang menjadi sistem pendidikan madrasah.
Pada perkembangan selanjutnya, banyak madrasah yang didirikan terpisah dengan induknya yaitu pesantren, surau atau mesjid. Bahkan, dengan adanya ide-ide pembaruan dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, tidak sedikit madrasah yang didirikan sudah lepas sama sekali dengan pesantren sehingga tidak hanya memberikan pengetahuan agama, tetapi juga mengajarkan pengetahuan umum sesuai dengan tuntutan zaman.
Awal abad ke-20, merupakan masa pertumuhan dan perkembangan madrasah di seluruh Indonesia, dengan nama dan tingkatan yang bervariasi dan belum ada keseragaman baik isi kurikulum serta rencana pelajaran. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1950 mulai dirintis penyeragaman bentuk, sistem dan rencana pelajaran. Dari sini, dapat dikatakan bahwa madrasah-madrasah pada awal perkembangannya masih bersifat diniyah semata, atau materi pendidikannya hanya agama.
Sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan pada madrasah merupakan perpaduan antara sistem pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah modern. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dari mengikuti sistem klasikal. Sistem pengajian kitab, diganti dengan bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama. Kenaikan tingkat ditentukan oleh penguasaan terhadap sejumlah bidang pelajaran tertentu. Pada perkembangan berikutnya, sistem pondok mulai ditinggalkan dan berdiri madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah modern. Namun demikian, pada tahap-tahap awal madrasah tersebut  masih bersifat diniyah yang hanya mengajarkan pengetahuan agama.[7]

C.Madrasah dan SKB 3 Menteri
Yang dimaksud dengan SKB 3 M yaitu keputusan bersama antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975, Menteri Pendidikan&Kebudayaan dengan SK No. 37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36 Tahun 1975, tertanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.  SKB 3 Menteri yang bertemakan “Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah” yang diterbitkan pada tahun 1975 berlaku bagi semua jenjang madrasah, baik madrasah negeri maupun swasta, madrasah di lingkungan pondok pesantren maupun di luar pondok pesantren. Sebagaimana namanya, tujuan utama SKB 3 menteri tersebut adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah agar sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Selain itu, menurut Abuddin Nata, hal keputusan bersama tersebut merupakan langkah awal masuknya pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.
Secara umum isi SKB 3 menteri tersebut adalah:
a.    Ijazah yang dikeluarkan oleh madrasah diakui dan mempunyai nilai yang sama dengan ijazah dari sekolah umum.
b.    Lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum setingkat lebih tinggi.
c.     Siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.
Kelahiran SKB 3 Menteri ini memang dimaksudkan untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah dalam sistem pendidikan nasional. SKB 3 Menteri ini dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan terhadap eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif.
Diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun 1975 yang tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah dan ditetapkannya kurikulum baru untuk madrasah ibtida’iyah, tsanawiyah dan aliyah pada tahun 1976 sebagai realisasi kesepakatan tersebut tidak lantas membuat semua madrasah mau mengikutinya. Banyak madrasah yang berusaha tetap mempertahankan statusnya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan materi-materi agama Islam sebagai materi pokok. Beberapa madrasah tetap memakai kurikulum yang dibuat sendiri meskipun SKB 3 menteri tersebut memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah sejajar dengan sekolah-sekolah umum, yaitu menyejajarkan siswa keluaran madrasah dengan siswa keluaran sekolah umum sehingga memiliki kesempatan yang sama untuk mengisi dan memainkan peran yang ada di tengah masyarakat.
Sisi positif lain dari SKB 3 menteri adalah mengakhiri reaksi keras sebagian umat Islam yang menilai bahwa pemerintah terlalu jauh mengintervensi praktik pendidikan Islam yang dilaksanakan sebelumnya. Selain itu, kebijakan ini dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah umum, meskipun pengelolaannya tetap berada di bawah tanggung jawab Departemen Agama.
Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan madrasah telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, siswa madrasah memperoleh pengajaran ilmu sosial, sejarah, antropologi, geografi, kesenian, Bahasa Indonesia Bahasa Inggris, fisika, kimia, matematika dan lain-lain.[8]

















                                             DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Prof, H, M.Ed, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003.
Assegaf, Abdur, Rahman, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press. 2007.
Depdiknas, kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah, Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang  Depdiknas.2003.
Shaleh, Abdul, Rachman, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006.
Suhartini, Andewi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI. 2009.
Syukur, Fatah, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Pustaka Rizki Putra. 2012.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung. 1985.







       [1]  Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 2003), hal...
       [2] Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta; Suka Press, 2007), hal. 134.
       [3] Andewi Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta; Depag RI, 2009), hal. 191.
       [4] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2012), hal. 160.
       [5] Depdiknas, kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah, (Jakarta; Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2003), hal. 17.
       [6] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 15-23.
       [7] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta; Hidakarya Agung, 1985), hal. 12-103.
       [8] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2003), hal. 89.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Klasik dan Modern dan Kontribusinya Terhadap Pendidikan

Pengalaman 2 Tahun

Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia