Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Klasik dan Modern dan Kontribusinya Terhadap Pendidikan
Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Klasik dan Modern
Dan Kontribusinya terhadap Pendidikan
Disusun Oleh:
Rafika Mayani
1012013083
Program
Studi Pendidikan Agama Islam
Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Institut
Zawiyah Cotkala Langsa
PEMBAHASAN
Pendidikan Islam berkembang dengan pesat sejak dari peninggalan
Rasulullah hingga sampai pada masa kita saat ini. Banyak para tokoh Pendidikan
Islam yang tampil sebagai pembaharu. Dalam tulisan ini dibedakan menjadi dua
generasi, yaitu: Pertama generasi klasik terdiri dari tokoh di luar
Indonesia, Kedua generasi modern dikhususkan dalam negara Indonesia.
Berikut akan dijelaskan secara mendalam.
1.
Tokoh
Pendidikan Klasik
A. Imam
Ghazali
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali. Ia
dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H / 1058 M.
Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan
penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita,
dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara.
Al-Ghazali pada masa kanak-kanak belajar Fiqh kepada Ahmad ibn
Muhammad ar-Radzakani, kemudian beliau pergi ke Jurjan berguru kepada Imam Abu
Nashr al-Ismaili. Setelah itu ia menetap lagi di Thus untuk mengulang-ulang
pelajaran yang diperolehnya dari Jurjan.[1]
b)
Pemikiran Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada
realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada Perolehan
keutamaan dan taqarrub kepada Allah
dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebagaimana yang
dikutip Athiyyah Al-abrasyi bahwa Imam Ghazali berpendapat βsesungguhnya tujuan
dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jallaβ.
Al-Ghazali tidak membedakan antara ilmu dengan Maβrifah
seperti tradisi umum kaum sufi. Memang ia pernah menyebutkan bahwa secara
etimologi, ada sedikit perbedaan antara keduanya, dan ia tidak keberatan atas
pemakaian tema Maβrifah untuk konsep (tasawuf), dan βilm untuk
assent (tasqiq). Akan tetapi dalam berbagai kitabnya, ia sering memakai
dua terma itu sebagaiu arti yang sama.
Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui
dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan
ada dua. Yaitu, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan
diri kepada Allah dan kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan
didunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka
sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir pendidikan itu. Tujuan
ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.[2]
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan
konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Gahazali ilmu terbagi
kepada tiga bagian yaitu; Pertama,
ilmu yang terkutuk baik sedikit manfaatnya, baik di dunia maupun diakhirat,
seperti ilmu sihir, ilmu nujum maupun ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu
tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat
baik bagi yang memilikinya maupun bagi orang lain. Kedua, ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu
yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang
berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat
menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya. Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam
kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam,
karena dengan mempelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya
kekecauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan. Dalam menyusun
kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama
dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat
menentukan bagi kehidupan masyarakat.[3]
B.
Ibn Sina
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu βAli Al-Husayn Ibn Abdullah. Di barat
populer dengan sebutan Avicenna. Beliau lahir pada tahun 370 H / 980 M di
Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara, di kawasan Asia tengah. Ayahnya
bernama Abdullah dari Balkan, Suatu kota termasyhur dikalangan orang-orang
Yunani. Diwafatkan di Hamdzan-sekarang Iran, persia. Pada tahun 428 H (1037 M)
alam usia yang ke 58 tahun, dia wafat karena terserang penyakit usus besar.
Tampilnya Ibn Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal di dukung
oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang
dikenal sebagi pejabat tinggi, juga karena kecerdasan yang luas biasa. Sejarah
mencatat, bahwa Ibn Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota
kelahirannya, Bukhoro. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajar adalah membaca
Al-qurβan. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam
seperti Tafsir, Fiqh, Ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya,
ia berhasil menghafal Al-qurβan dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman
pada usia yang belum genap sepuluh tahun.[4]
b) Pemikiran
Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya
yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain
itu juga harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seorang agar dapat hidup
dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang
dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi yang
dimilikinya.[5]
Konsep kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina memiliki tiga ciri. Pertama, konsep kurikulum Ibn Sina tidak
hanya terbatas pada sekedar menyusun sejumlah mata pelajaran, melainkan juga
disertai dengan penjelasan tentang tujuan dari mata pelajaran tersebut, dan
kapan mata pelajaran itu harus diajarkan. Selain itu Ibn Sina juga sangat
mempertimbangkan aspek psikologis, yakni minat dan bakat para siswa dalam
menentukan keahlian yang akan dipilihnya. Dengan cara demikian seorang siswa
akan merasa senang atau tidak terpaksa dalam mempelajari suatu ilmu atau keahlian
tertentu. Kedua, bahwa strategi
penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina juga didasarkan pada pemikiran
yang bersifat pragmatis fungsional. Ketiga,
strategi pembentukan kurikulum Ibn Sina tampak sangat dipengaruhi oleh
pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Dengan melihat ciri-ciri tersebut dapat
dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibn Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan
kurikulum yang dikehendaki masyarakat modern saat ini.[6]
C.
Ibn Miskawaih
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Yaβqub Ibn Miskawaih. Ia
lahir pada tahun 320 H / 932 M, di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal
9 Shafar tahun 412 H / 16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa
pemerintahan Dinasti Buwaihi (320-450 H / 932-1062 M). Yang sebagian besar
permukaannya bermazhab syiβah.
Dari segi latar belakang
pendidikannya, tidak dijumapi data sejarah yang rinci. Namun dijumpai
keterangan bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi
mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu
Thayyib. Dalam bidang pekerjaan, tercatat bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih
adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan pendidi anak para pemuka
dinasti Buwaihi.[7]
b) Pemikiran
Pendidikan
Ibn Miskawaih membangun
konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Disini terlihat dengan
jelas bahwa karena dasar pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak. Maka
konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Tujuan pendidikan
akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu
mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik
sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.[8]
Untuk mencapai tujuan yang
telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari,
diajarkan atau dipraktekkan. Materi yang dimaksud oleh Ibn Miskawaih diabdikan
pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibn Miskawaih menyebutkan 3
hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal
pokok tersebut adalah hal-hal yang wajib bagi kebutuhan manusia, hal-hal yang
wajib bagi jiwa, dan hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia.
Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebut oleh Ibn
Miskawaih antara lain shalat, puasa, dan saβi. Selanjutnya materi pendidikan
akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih
dengan pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala
kebesarannya serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang
terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain, dicontohkan dengan
materi ilmu muamalat, pertanian, perkawinan dan lain-lain.[9]
D.Ibnu Khaldun
a) Riwayat Hidup
Ibnu
Khaldun mempunyai nama lengkap Adbullah Abdurrahman Abu Zyad Ibn Muhammad Ibn
Khaldun. Ia dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H / 1332 M dari
keluarga ilmuwan dan terhormat yang telah berhasil menghimpun antara jabatan
ilmiah dan pemerintahan. Sebuah ciri khas yang melatarbelakangi kehidupan Ibn
Khaldun adalah berasal dari keluarga politis, intelektual dan aristokrat.[10]
Ibnu Khaldun adalah seorang yang tegas dalam
menjalankan tugas, ahli dalam bidang sosiologi serta bijak dalam menyelesaikan
masalah. Ketokohan beliau populer sebagai pakar sejarah, pakar sosiologi , ahli
falsafah dan politik. Beliau mendapat pendidikan awal dari ayahnya tentang
dasar-dasar agama seperti Al-Quran, fikih, hadis, dan tauhid. Beliau juga
merupakan hafidz Quran sejak kecil. Ketika dewasa ia belajara ilmu linguistik
bahasa Arab seperti Nahwu dan Sharaf, Ushuluddin serta Kesusasteraan. Diantara
guru beliau yang utama adalah Muhammad Ibn Abdul Muhaimin. Beliau juga berturut
berguru dengan Abu Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ibrahim Al-Abla yang mengajarnya
tentang sosiologi, politik dan pendidikan.[11]
b) Pemikiran Pendidikan
Ibn
Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan
kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat
dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan keterampilan. Dengan menuntut imu
dan keterampilan, seseorang akan dapat meningkatkan kegiatan potensi akalnya.
Disamping itu, melalui potensinya akan mendorong manusia untuk memperoleh dan
melestarikan pengetahuan. Atas dasar pemikiran tersebut, tujuan pendidikan
menurut Ibn Khaldun adalah peningkatan kecerdasan manusia dan kemampuannya
berfikir. Dengan kemampuan tersebut, manusia akan dapat meningkatkan
pengetahuannya dengan cara memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan pada
saat belajar.[12]
E. Ibn
Taimiyah
a) Riwayat Hidup
Nama
lengkapnya adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah lahir di kota
Harran, wilayah Siria, pada hari Senin, 10 Rabiβul Awwal 661 H. Bertepatan dengan 22 Januari 1263 M, dan
wafat di Damaskus pada malam Senin, 20 Zulkaidah, 728 Hijriyah, bertepatan
dengan 26 September 1328 M. Ayahnya bernama Syihab ad-Din βAbd al-Halim Ibn
βAbd as-Salam (627-672 H). Adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan
tinggi di masjid Agung Damaskus. Selain sebagai khatib imam besar di masjid
tersebut.
Ibn
Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang mempunyai
kecerdasan otak luar biasa, tinggi kemauan dan kemampuan dalam studi, tekun dan
cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan
mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal shaleh,
rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan kebenaran. Didukung oleh
kesungguhan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu, kecerdasan otak dan
kepribadian yang baik Ibn Taimiyah yang dikenal dengan waraβ, zuhud dan tawadhu nya, ternyata mampu mengantarkan
dirinya menjadi seorang ulama besar yang menguasai banyak ilmu dan pengalaman,
disamping juga sebagai pejuang yang tangguh.[13]
b)
Pemikiran
Pendidikan
Pemikiran Ibn Taimiyah
dalam bidang pendidikan dapat dibagi kedalam pemikirannya dalam bidang falsafah
pendidikan, tujuan pendidikan bahkan hubungan pendidikan dengan kebudayaan. Seluruh
pemikirannya dalam bidang pendidikan itu ia bangun berdasarkan keterangan yang
jelas sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah melalui pemahaman yang
mendalam, jernih dan enerjik.
Dalam bidang falsafah
pendidikan oleh Ibn Taimiyah adalah ilmu yang bermanfaat sebagai asas bagi
kehidupan yang cerdas dan unggul. Sementara mempergunakan ilmu itu akan dapat
menjamin kelangsungan dan kelestarian masyarakat. Tanpa ilmu masyarakat akan
terjerumus kedalam kehidupan yang sesat. Bertolak dari pandangan tersebut, maka
menurut Ibn Taimiyah bahwa menuntut ilmu itu merupakan ibadah dan memahaminya
secara mendalam merupakan sikap ketaqwaan kepada Allah dan mengkajinya
merupakan jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum tahu merupakan shadaqah
dan mendiskusikannya merupakan tasbih.[14]
Tujuan pendidikan yang
dikemukakan oleh Ibn Taimiyah dibangun atas dasar falsafah pendidikannya, yaitu
tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya pribadi muslim yang baik, yaitu
seorang yang berpikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada
setiap waktu sejalan dengan apa yang diperintah Al-Quran dan As-Sunnah,
pendidikan juga harus diarahkan pada terciptanya masyarakat yang baik yang
sejalan dengan ketentuan Al-Quran dan As-Sunnah.[15]
Konsep kurikulum yang
dibangun Ibn Taimiyah didasarkan pada falsafah dan tujuan pendidikan. Menurutnya
bahwa kurikulum atau materi pelajaran yang utama yang harus diberikan kepada
anak didik adalah mengajarkan putra-putri kaum muslimin sesuai yang diajarkan
Allah kepadanya, dan mendidiknya agar selalu patuh dan tunduk kepada Allah dan
Rasul-Nya. Ada empat tahap kurikulum yang dijelaskan Ibn Taimiyah dalam
hubungannya dengan materi pelajaran yaitu; Pertama,
kurikulum yang berhubungan dengan mengesakan Tuhan (at-tauhid). Kedua,
kurikulum yang berhubungan dengan mengetahui secara mendalam (maβrifat). Ketiga, kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang medorong
manusia mengetahui secara mendalam (maβrifat)
terhadap kekuasaan (qudrat) Allah. Keempat, kurikulum yang berhubungan
dengan upaya yang mendorong untuk mengetahui perbuatan-perbuatan Allah.[16]
2. Tokoh Pendidikan Modern
A.
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus
a)
Riwayat
Hidup
Mahmud Yunus dilahirkan di Batusangkar, Sumatra Barat pada tanggal 10
Februari 1899 (30 Ramadhan 1336 H). Dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982. Ia
termasuk tokoh pendidikan Islam Indonesia yang gigih memperjuangkan masuknya
pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut berusaha memperjuangkan berdirinya
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).
Sejak kecil Mahmud Yunus sudah memperlihatkan minat dan kecenderungannya
yang kuat memperdalam ilmu agama Islam. Ketika berumur 7 tahun ia belajar
membaca Al-Quran dibawah bimbingan kakeknya, M. Thahir yang dikenal dengan nama
Engku Gadang. Selanjutnya tahun 1917, Mahmud Yunus bersama teman-temannya
mengajar di Madras School dan mulai memperbarui sistem kegiatan belajar
mengajar dengan menambah sistem halaqah
disamping sistem madrasah dengan mengajarkan kitab-kitab mutakhir.[17]
Dibidang politik, Mahmud Yunus ikut memperjuangkan dan mempertahankan
kemerdekaan RI. Tahun 1943 ia terpilih sebagai penasihat residen mewakili
Majelis Islam Tinggi dan pada tahun yang sama ia menjadi anggota Chu Sangi Kai.[18]
b)
Pemikiran
Pendidikan
Setelah kembali ke
Indonesia pada tahun 1930, Mahmud Yunus memperbarui madrasah yang pernah
dipimpinnya di Sungayang dengan nama al-Jamiβah
al-Islamiyah, disamping mendirikan sebuah sekolah yang kurikulumnya
memadukan ilmu agama dan umum, yakni normal Islam. Madrasah ini yang pertama
kali memiliki laboratorium untuk ilmu fisika dan kimia di Sumatra Barat.
Pembaruan di dua madrasah ini diutamakan pada pembaruan metode mengajar bahasa
Arab.
Mahmud Yunus memiliki
perhatian dan komitmen yang tinggi terhadap upaya membangun, meningkatkan dan
pengembangan pendidikan agama Islam sebagai bagian integral dari sistem
pendidikan yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang
beragama Islam. Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara
keseluruhan bersifat strategis dan merupakan karya perintis, dalam arti belum
pernah dilakukan tokoh-tokoh pendidikan Islam sebelumnya. Perhatian dan
komitmennya terhadap pembangunan, peningkatan dan pengembangan pendidikan Islam
tersebut dapat dilihat sebgaia berikut. Pertama,
dari segi tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mencerdaskan perseorangan, untuk
kecakapan mengerjakan pekerjaan. Selain itu Mahmud Yunus juga menilai pendapat
yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mempelajari dan mengetahui
ilmu-ilmu agama Islam serta mengamalkannya seperti, ilmu Tafsir, Tauhid, Fiqh.[19]
Kedua, dari segi kurikulum yang berkaitan dengan pelajaran bahasa
Arab, Mahmud Yunus Menawarkan kurikulum pengajaran bahasa Arab yang integrated antara satu cabang dengan
cabang lainnya dalam ilmu bahasa Arab. Ketiga,
dalam bidang kelembagaan, terlihat bahwa Mahmud Yunus termasuk orang yang
memelopori perlunya mnegubah sistem pengajaran yang bercorak individual kepada
sistem pengajaran klasikal. Keempat, dalam bidang metode pengajaran, Mahmud
Yunus amat memberikan perhatian yang cukup besar. Untuk itu ia memperkenalkan
buku pegangan bagi guru-guru agama yang berisi tentang cara mengajarkan agama
yang sebaik-baiknya kepada peserta didik sesuai dengan tingkat usia dan jenjang
pendidikan yang sedang diikutinya.[20]
B.
Ki Hajar Dewantara
a)
Riwayat
Hidup
Ki hajar Dewantara yang
nama aslinya Suwardi Suryaningrat dilahirkan pada 2 Mei 1889, bertepatan dengan
1303 H di Yogyakarta. Dan wafat pada 26 April 1959 bertepatan dengan 1376 H
(berusia 70 tahun). Pada tahun 1912, nama Ki hajar Dewantara dapat
dikategorikan sebagai tokoh muda yang mendapat perhatian Cokroaminoto untuk
memperkuat barisan Syarekat Islam cabang Bandung. Oleh karena itu, ia bersama
dengan Wignyadisastra dan Abdul Muis, yang masing-masing diangkat dengan ketua
dan wakil ketua, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai sekretaris. Namun
keterlibatannya dalam Syarekat Islam ini
terhitung singkat, tidak genap satu tahun. Hal ini terjadi, karena bersama
dengan E.F.E. Dowes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, ia diasingkan ke Belanda (1913)
atas dasar orientasi politik mereka yang cukup radikal.
Sebagai tokoh
pergerakan politik dan tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara tidak
hanya terlibat dalam konsep dan pemikiran melainkan juga terlihat aktif sebaagi
pelaku yang berjuang membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan
Jepang melalui pendidikan yang diperjuangkannya melalui Sistem Pendidikan Taman
Siswa yang didirikan dan diasuhnya. Dalam posisinya yang demikian itu, maka
dapat diduga ia memiliki konsep-konsep yang strategis tentang pendidikan di
Indonesia.[21]
b)
Pemikiran
pendidikan
Pada masa hidupnya, Ki
Hajar Dewantara banyak mengabdikan dirinya bagi kepentingan pendidikan
nasional, melalui Taman Siswa yang didirikan dan diasuhnya. Dalam kapasitasnya,
ia banyak memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikan yang
dikemukakannya. Pertama, visi misi
dan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah bahwa pendidikan sebagai alat
perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara
universal, sehingga mereka dapa berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain
yang telah maju dengan tetap berpijak kepada identitas dirinya sebagai bangsa
yang memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda dengan bangsa lain. Kedua, kurikulum. Ki Hajar Dewantara
mengatakan bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan
kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat. Ki
Hajar Dewantara menginginkan agar bahan pelajaran yang diberikan mengarah pada
pembentukan kepribadian yang memiliki kemajuan yang seimbang antara dimensi
intelektual dan emosional, duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual.[22]
Ketiga, Ki Hajar
Dewantara melalui lembaga pendidikan yang diasuhnya melihat bahwa pendidikan
agama dan budi pekerti amat penting bagi kehidupan manusia. Yaitu, pendidikan
agama yang didasarkan pada toleransi, kebebasan menyatakan sikap keagamaan,
tapi tetap realistik, yaitu sikap yang mengakui adanya mayoritas agama
tertentu, tanpa mengurangi kebebasan agama minoritas.[23]
C.
K.H. Imam Zarkasyi
a)
Riwayat
Hidup
K.H. Imam Zarkasyi dilahirkan
di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, tanggal 21 Maret 1910, dan meninggal dunia
pada tanggal 30 Maret 1985 dengan meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak.
Ayahnya yang bernama Santausa Annam Bashari berasal dari keluaraga elit Jawa
yang taat beragama dan merupakan generasi ketiga dari pimpinan pondok Gontor
lama dan generasi kelima dari pangeran Hadiraja Adipati Anom, putra Sultan
kesepuhan Cirebon. Sedangkan ibunya adalah keturunan bupati Suriadiningrat yang
terkenal pada zaman babad Mangkubumen dan Penambangan (Mangkunegaraan).
Ketika ia belajar di
Solo, salah seorang gurunya yang amat berpengaruh ke dalam diri Imam Zarkasyi
adalah al-Hasyimi, seorang ulama, tokoh politik dan sekaligus sastrawan dari
Tunisia yang diasingkan oleh pemerintah Perancis di wilayah jajahan Belanda,
dan akhirnya menetap di Solo.
Pengalaman belajar
yang beragam yang didukung oleh kecerdasan dan kesungguhannya, menyebabkan Imam
Zarkasyi tampil dengan tingkat penguasaan yang memadai dalam berbagai disiplin
ilmu agama dan ilmu umum. Selain itu kecenderungan dan bakat Imam Zarkasyi
untuk menjadi pendidik semakin besar. Ia memilih bidang pendidikan sebagai
lahan perjuangan dan pilihan hidupnya.[24]
b)
Pemikiran
pendidikan
Berbagai pengalaman
dalam memajukan pendidikan telah mendorong Imam Zarkasyi memeras otak mencari
terobosan baru dalam bidang pendidikan Islam. Terobosan baru ini ia wujudkan
hampir pada sekuruh aspek pendidikan. Tujuan pendidikan yang ditekankan pada
tercapainya keseimbangan hidup yang bahagia didunia dan akhirat. Dalam bidang
kurikulum pendidikan sejalan dengan tujuan pendidikan tersebut. Yaitu kurikulum
yang tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama saja, melainkan juga ilmu pengetahuan
modern yang didukung oleh kemampuan penguasaan bahasa Arab dan Inggris, baik
secara lisan, tulisan dan sebagainya. Dalam bidang metode, diarahkan kepada
pendekatan yang menekankan pada kemampuan menggunakan atau mengamalkan setiap
bidang keilmuan yang diajarkan, khususnya dalam bidang bahasa Arab dan Inggris.[25]
D.Prof. Dr.
Harun Nasution
a)
Riwayat
Hidup
Harun Nasution
dilahirkan di Pematangsiantar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada
hari Selasa, 23 September 1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara.
Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan ditempuh oelh Harun Nasution
dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Holladsch Inlandsch School
(HIS) yang ditempuh selama 7 tahun dan selesai tahun 1934 yang pada waktu itu
ia sudah berusia 14 tahun. Selama belajar di Sekolah Dasar ini Harun Nasuition
berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum.[26]
Dilihat dari segi
keahliannya, Harun Nasution adalah sebagai ahli ilmu kalam dan filsafat Islam
yang disegani dan berpengaruh dengan corak pemikirannya yang rasional dan
cenderung liberal. Sifat dan corak pemikiran yang demikian itu amat
bertentangan dengan corak dan pemikiran Islam yang pada umumnya berkembang saat
itu.[27]
b)
Pemikiran
Pendidikan
Selama kepemimpinannya
di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini telah banyak gagasan pembaruan yang
dipraktikkannya, antara lain; Pertama,
menumbuhkan tradisi ilmiah. Upaya ini antara lain dilakukan dengan cara
mengubah sistem perkuliahan yang semula bercorak hafalan, dan cenderung
menganut mazhab tertentu, menjadi sistem perkuliahan yang mengajak mahasiswa
berfikir rasional, kritis, inovatif, objektif dan menghargai perbedaan
pendapat. Kedua, memperbarui
kurikulum. Upaya ini antara lain dilakukan Harun Nasution dengan cara
memperbarui kurikulum IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang hanya memuat bidang
kajian agama dari aliran mazhab tertentu saja, maka di zaman Harun Nasution
kurikulum IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ditambah dengan kajian ilmu kalam
dengan berbagai aliran mazhabnya, filsafat, tasawuf, serta ilmu-ilmu dasar
seperti sosiologi, antropologi, bahkan juga ilmu-ilmu alam. Ketiga, mejadikan
IAIN sebagai pusat pembaruan pemikiran dalam Islam. Julukan yang diterima IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pusat pembaruan pemikiran dalam Islam
tersebut muncul karena pengaruh dari serangkaian usaha yang dilakukan Harun
Nasution, terutama dalam rangka menumbuhkan tradisi ilmiah.[28]
E.
K.H. Hasyim AsyβAri
a)
Riwayat
Pendidikan
Hasyim AsyβAri lahir di desa Gedang Jombang, Jawa Timur. Pada hari
Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14 Februari
1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asyβari ibn Abd Al Wahid ibn
Abd Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd Al Rahman Ibn Abd Al
Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut
dengan Sunan Giri. Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim
Jawa, Jaka Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim AsyβAri
juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan.
Hasyim
Asyβari adalah seorang kiai yang pemikiran dan sepak terjangnya berpengaruh
dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu. Santri-santri ada yang dari
Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Aceh, bahkan ada beberapa orang dari
Kuala Lumpur. Beliau terkenal orang yang alim dan adil, selalu mencari
kebenaran, baik kebenaran dunia maupun kebenaran akhirat. Semasa hidupnya
beliau diberi kedudukan sebagai Rais Akbar NU, suatu jabatan yang hanya
diberikan kepada Hasyim AsyβAri satu-satunya. Bagi ulama lain yang menjabat
jabatan tersebut, tidak lagi menyandang sebutan Rais Akbar melainkan Rais Am. Hal
ini karena ulama lain yang menggantikannya merasa lebih rendah dibandingkan
Hasyim AsyβAri.[29]
b)
Pemikiran
Pendidikan
Pola pemaparan
konsep pendidikan K.H. Hasyim Asyβari dalam kitab Adab Alim Wa Mutaβallim
mengikuti logika induktif, di mana beliau mengawali penjelasannya langsung dengan
mengutip ayat-ayat Al-quran, Hadits, pendapat para ulama, syair-syair yang
mengandung hikmah. Dengan cara ini K.H. Hasyim AsyβAri memberi pembaca agar
menangkap maβna tanpa harus dijelaskan dengan bahasa beliau sendiri. Namun
demikian, ide-ide pemikirannya dapat dilihat dari bagaimana beliau memaparkan
isi kitab karangan beliau. Tujuan pendidikan
yang ideal menurut K.H. Hasyim AsyβAri adalah untuk membentuk masyarakat yang
beretika tinggi (akhlaqul karimah).[30]
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Saiful. Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung: Pustaka setia. 2007.
Hizah,
Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. 2002.
Nata,
Abuddin, MA, Dr, H. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2003.
Nata,
Abuddin, MA, Dr, H, Prof. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005.
Nata,
Abuddin, H. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Rachman, Abd, Assegaf. Aliran
Pemikiran Pendidikan Islam Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern.
Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2013.
Sofyan, Ayi. Kapita Selekta Filsafat.
Bandung: CV Pustaka Setia. 2010.
Baccarat - How To Play | FEBCASINO.COM
BalasHapusBaccarat is an extremely choegocasino easy and easy card game, with variations like standard blackjack, febcasino roulette, and double zero. The only games 1xbet korean where you play in the