Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
Lembaga
Pendidikan Islam
di Indonesia
Disusun Oleh:
Rafika Mayani
1012013083
Program Studi
Pendidikan Agama Islam
Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Institut
Zawiyah Cotkala Langsa
PEMBAHASAN
1.
Organisasi
Islam dan Pendidikan Islam di Indonesia
A. Al-Jami’at Al-Khairiyah
Organisasi yang
lebih dikenal dengan nama Jami’at Khair ini didirikan di Jakarta pada tanggal
17 Juli 1905. Anggota organisasi ini mayoritas orang-orang Arab, tetapi tidak
menutup kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa diskriminasi asal
usul. Dua bidang kegiatan yang sangat diperhatikan oleh organisasi ini ialah,
pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar, dan pengiriman
anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi. Bidang yang kedua ini sering
terhambat karena kekurangan biaya dan juga karena kemunduran khilafat, dengan
pengertian tidak seorang pun dari mereka yang dikirim ke Timur tengah memainkan
peranan yang penting setelah mereka kembali ke Indonesia.
Sekolah dasar
Jami’at Khair bukan semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga
mempelajari pengetahuan umum lainnya seperti lazimnya suatu sekolah dasar
biasa, misalnya berhitung, sejarah, ilmu bumi, dan sebagainya.[1]
Untuk memenuhi
tenaga guru yang berkualitas Jami’at Khair mendatangkan guru-guru dari
daerah-daerah lain bahkan dari luar negeri untuk mengajar disekolah tersebut.
pada tahun 1907 Haji Muhammad Mansur seorang guru dari Padang diminta untuk
mengajar disekolah tersebut karena pengetahuannya yang luas dalam bidang agama
dan karena kemampuannya di dalam bahasa Melayu. Al-Hasyimi didatangkan dari
Tunis sekitar tahun 1911 yang disamping mengajar juga memperkenalkan gerakan
kepanduan dan olahraga dilingkungan sekolah Jami’at Khair. Beliau terkenal sebagai orang
yang pertama kali mendirikan gerakan kepanduan dikalangan orang-orang Islam di
Indonesia.[2]
Satu hal yang
penting dicatat adalah kenyataan bahwa Jami’at Khair yang pertama memulai
organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam, dan yang mendirikan
suatu lembaga pendidikan dengan sistem yang boleh dikatakan telah modern.
Meskipun tujuan asalnya hanya mengenai pendidikan agama tetapi usaha Jami’at
Khair kemudian meluas sampai kepada mengarus penyiaran Islam, perpustakaan dan
surat kabar (26 Januari 1913) dan mendirikan atas bantuan S. Muhammad b. Saleh
b. Agil dan S. Abdullah b. Alwi Alatas percetakan bahasa Arab Setia Usaha, yang dipimpin oleh Umar
Said Tjokroaminoto dan yang kemudian menerbitkan surat kabar harian Utusan Hindia (31 Maret 1913).[3]
B. Al-Islah Wal Irsyad
Syeikh Ahmad
Surkati, yang sampai di Jakarta dalam bulan Februari 1912, seorang alim
terkenal dalam agama Islam, beberapak lama kemudian meninggalkan Jami’at Khair
dan mendirikan gerakan agama sendiri bernama Al-Islah Wal Irsyad, dengan haluan
mengadakan pembaharuan dalam Islam (reformisme).
Pada tahun 1914
berdirilah perkumpulan Al-Islah Wal Irsyad, kemudian terkenal dengan sebutan
Al-Irsyad, yang terdiri dari golongan-golongan Arab bukan golongan Alawi. Tahun
1915 berdirilah sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta, yang kemudian
disusul oleh beberapa sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan itu. Pendiri-pendiri
Al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang, tetapi guru sebagai tempat meminta fatwa
ialah Syeikh Ahmad Surkati yang sebagian besar dari umurnya dicurahkannya bagi
penelaahan pengetahuan.[4]
Al-Irsyad
sendiri menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat
Arab, ataupun pada permasalahan yang timbul dikalangan masyarakat Arab,
walaupun orang-orang Indonesia Islam bukan Arab, ada yang menjadi anggotanya.
Lambat laun dengan bekerjasama dengan organisasi Islam yang lain, seperti
Muhammadiyah dan Persatuan Islam, organisasi Al-Irsyad meluaskan pusat
perhatian mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup
persoalan Islam umumnya di Indonesia. Pemuda-pemuda Indonesia asli juga
mempergunakan fasilitas Al-Irsyad dalam bidang pendidikan.
Sekolah
Al-Irsyad di Jakarta lebih banyak jenisnya. Terdapat sekolah-sekolah tingkat
dasar, sekolah guru, bagian takhassus (dengan pelajaran dua tahun) dimana
pelajar dapat mengadakan spesialisasi dalam bidang agama, pendidikan atau
bahasa. Tetapi struktur seperti ini meminta waktu tahunan untuk dapat dibangun.
Mulanya tiap peminat, umur berapapun dapat diterima sebagai murid, sehingga
tidaklah merupakan suatu hal yang luar biasa untuk menemui didalam sekolah
tingkat dasar seorang anak muda 18 atau 19 tahun duduk berdampingan dengan anak
berumur 8 atau 9 tahun dalam satu kelas. Memang diantara anak-anak itu ada yang
telah mendapat pelajaran di sekolah-sekolah lain sebelum memasuki Al-Irsyad.[5]
Murid-murid
Al-Irsyad, pada tahun-tahun pertama didirikan, terdiri dari anak-anak kalangan
Arab dan sebagian juga anak-anak Indonesia asli dari Sumatera dan Kalimatan.
Mereka banyak terdiri dari anak-anak penghulu, pedagang dan guru-guru dan
beberapa diantaranya anak-anak pegawai pemerintah. Pada tahun 1930-an organisasi
Al-Irsyad mengeluarkan beasiswa untuk beberapa lulusannya guna belajar diluar
negeri terutama di Mesir, tetapi para siswa ini tidak memainkan peranan yang
penting sekembali mereka dari sana. Yang lebih berhasil ialah para lulusan yang
melanjutkan pelajarannya dengan tenaga sendiri ataupun dengan bantuan dari
keluarga sendiri. Orang-orang ini memainkan peranan yang lebih penting dalam
perkembangan pemikiran pembaharuan.[6]
C. Perserikatan Ulama
Perserikatan
Ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa
Barat, yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Kyai Haji Abdul Halim, lahir
pada tahun 1887 di Ceberelang Majalengka.
KHA Halim
memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak sampai umur 22 tahun diberbagai
pesantren didaerah Majalengka. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan
ibadah haji dan melanjutkan pelajarannya. Selama 3 tahun berada di Mekkah, ia
mengenal tulisan-ulisan Abduh dan Jamal al-Din al-Afgani, yang merupakan pokok
pembicaraan bersama kawan-kawannya yang banyak berasal dari daerah Sumatera.
Yang lebih memberikan kesan baginya adalah dua lembaga pendidikan, yaitu Bab
al-Salam dekan Mekkah dan yang lainnya di Jeddah. Menurut ceritanya kedua
lembaga ini telah menghapuskan sistem halaqah dan sebagai gantinya
mengorganisir kelas-kelas serta menyusun kurikulum dengan mempergunakan bangku
dan meja.[7]
Dalam bidang
pendidikan KHA Halim mulanya menyelenggarakan pelajaran agama sekali seminggu
untuk orang-orang dewasa, yang diikuti 40 orang. Umumnya pelajaran yang ia
berikan adalah pelajaran-pelajaran Fiqh dan Hadis. Ketika itu Halim tidak
semata-mata mengajar saja tetapi juga bergerak dibidang perdagangan untuk
memenuhi nafkah hidupnya.
Untuk
memperbaiki mutu sekolah nya KHA Halim berhubungan dengan Jami’at Khair dan
Al-Irsyad di Jakarta. Ia juga mewajibkan murid-muridnya pada tingkat yang lebih
tinggi untuk memahami bahasa Arab yang kemudian menjadi bahasa pengantar pada
kelas-kelas lanjutan. Organisasi tersebut yang kemudian diganti menjadi
Perserikatan Ulama, diakui sah secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917
dengan bantuan H.O.S. Cokroaminoto (Pimpinan Serkat Islam).
Pada tahun 1924
Perserikatan Ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya keseluruh Jawa dan
Madura, dan pada tahun 1937 keseluruh Indonesia. Dalam kenyataannya
Perserikatan Ulama tetap merupakan sebuah organisasi daerah Majalengka. Ia
tidak semata-mata membatasi diri pada bidang pendidikan. Ia juga membuka sebuah
rumah anak yatim yang diselenggarakan oleh Fatimiyah, bagi wanita.[8]
Pada tahun 1932,
dalam suatu kongres Perserikatan Ulama di Majalengka, KHA Halim mengusulkan
agar sebuah lembaga didirikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan
saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi
juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan perdagangan dan
pertanian, bergantung dari bakat masing-masing.[9]
D.Muhammadiyah
Salah satu
organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II
adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh
murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu
lembaga pendidikan yang bersifat permanen. Selain sebagai gerakan Islam, dakwah
dan tajdid (pembaharuan), organisasi
Muhammadiyah juga telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu media untuk
mencapai tujuan organisasi sosial keagamaan. Penempatan ini selain strategis
juga telah membawa keberhasilan yang luar biasa dalam rangka mencerdaskan umat
Islam dan bangsa Indonesia. Sebagai salah satu wahana untuk berperan aktif
mencerdaskan anak-anak bangsa.[10]
Muhammadiyah
telah menyelenggarakan berbagai jenis lembaga pendidikan yang tercakup dalam
kegiatan pendidikan formal (sekolah), non formal (di masyarakat, sekolah) dan
informal (rumah tangga, masyarakat, sekolah). Sebenarnya tujuan umum pendidikan
Muhammadiyah secara resmi baru dirumuskan pada tahun 1936 pada saat kongres di
Betawi yang berisi, pertama,
menggiringi anak-anak Indonesia menjadi orang Islam yang berkobar-kobar
semangatnya. Kedua, badannya sehat,
tegap bekerja. Ketiga, hidup
tangannya mencari rezeki sendiri, sehingga kemauannya itu memberi faedah yang
besar dan berharga hingga bagi badannya dan juga masyarakatnya hidup bersama.
Kualitas
keislaman adalah ciri khas dari pendidikan Muhammadiyah. Ia merupakan dasar dan
tujuan dari cita-cita dalam proses pendewasaan manusia yang digagas
Muhammadiyah. Sebagai institusi pendidikan yang diharapkan menjadi lembaga yang
mencetak kader, sekolah/madrasah/pesantrren. Muhammadiyah haruslah menegaskan
diri dalam menghasilkan peserta didik yang mengejawentahkan nilai-nilai Islam.
Kualitas keilmuan adalah tingkat kemampuan peserta didik menyerap pengetahuan
yang diajarkan. Ia bagian dari kecerdasan yang menjadi target pencapaian dalam
proses mentransfer ilmu pengetahuan.[11]
E. Nahdatul Ulama
Nahdatul Ulama
didirikan pada tangga 16 Rajab 1344 H di Surabaya yang didirikan oleh alim
ulama dari tiap-tiap daerah di jawa, diantaranya:
a.
K.H Hasyim Asy’ari Tebuireng
b.
K.H Abdul Wahab Hasbullah
c.
K.H Bisri Joombang
d.
K.H Ridwan Semarang
e.
Dan lain-lain.
Latar belakang
didirikannya organisasi ini pada mulanya adalah sebagai perluasan dari suatu
komite Hijaz yang dibangun dengan tujuan, untuk mengimbangi komite khilafah
yang secara berangsur-angsur jatuh ditangan pembaharuan, untuk berseru kepada
Ibnu Sa’ud penguasa baru di tanah Arab agar kebiasaan beragama secara tradisi
dapat diteruskan.[12]
NU adalah
perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh
sebab itu, NU mendirikan beberapa madrasah
ditiap-tiap cabang untuk mempertinggi nilai kecerdasan dan budi luhur
masyarakat Islam. Sejak masa pemerintahan Belanda dan penjajahan Jepang, NU
tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, juga mengadakan
tabligh-tabligh serta pengajian-pengajian disamping urusan sosial yang lain,
bahkan juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu.[13]
2.
Jenis-Jenis
Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
A. Pesantren
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan tradisional islam untuk memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran islam dengan menekankan pentingnya moral agama islam sebagai
pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Pesantren
sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri.
Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari
bambu. Disamping itu kata “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama. Pondok
pesantren yang merupakan “bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan
karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini bisa dilihat dari
perjalanan historisnya, bahwa sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran
kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam
sekaligus mencetak kader-kader ulama dan da’i.[14]
Pada masa
penjajahan kolonial Belanda yaitu sekitar abad ke-18-an, nama pesantren sebagai
lembaga pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang
penyiaran agama Islam. Kelahiran pesantren baru, selalu diawali dengan cerita
perang nilai antara pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat sekitarnya,
dan diakhiri dengan kemenangan pihak pesantren, sehingga pesantren dapat
diterima untuk hidup di masyarakat, dan kemudian menjadi panutan bagi
masyarakat sekitarnya dalam bidang kehidupan moral.
Dalam
perkembangannya, pondok pesantren memang sangat pesat. Pada zaman Belanda saja
jumlah pesantren di Indonesia besar kecil tercatat sebanyak 20.000 buah.
Perkembangan selanjutnya mengalami pasang surut, ada daerah tertentu yang
membuka pesantren baru, ada pula pesantren di daerah lain yang bubar karena
tidak begitu terawat lagi. Tetapi perkembangan yang paling akhir, dunia
pesantren menampakkan trend lain. Disamping masih ada yang mempertahankan
sistem “tradisionalnya”, sebagian pesantren telah membuka sistem madrasah,
sekolah umum bahkan ada diantaranya yang membuka semacam lembaga pendidikan
kejuruan, seperti bidang pertanian, perternakan dan lain-lain.[15]
Adapun tujuan
didirikannya pondok pesantren ini pada dasarnya terbagi kepada dua hal, yaitu:
a.
Tujuan Khusus
Yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim
dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta
mengamalkannya dalam masyarakat.
b.
Tujuan Umum
Yakni membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang
berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam
dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
Melihat dari
tujuan tersebut, jelas sekali bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan
Islam yang berusaha menciptakan kader-kader mubaligh yang diharapkan dapat
meneruskan misinya dalam dakwah Islam, disamping itu juga diharapkan bahwa
mereka yang berstudi di pesantren menguasai betul akan ilmu-ilmu keislaman yang
diajarkan oleh kiai.[16]
Sementara itu,
dalam penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran tampaknya cukup
bervariasi dan berbeda antara satu pesantren dengan pesantren yang lain, dalam
arti tidak terdapatnya keseragaman sistem dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pengajarannya. Dalam hal penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran di
pondok pesantren sekarang ini, paling tidak dapat digolongkan kepada tiga
bentuk, yaitu:
a.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran
agama Islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan
dengan cara nonklasikal (sistem bandungan dan sorogan), dimana seorang kiai
mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab
oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya
tinggal dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.
b.
Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama
Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas, tetapi
para santrinya tidak disediakan pondokan di komplek pesantren, namun tinggal
tersebar disekitar penjuru desa sekeliling pesantren tersebut dimana cara dan
metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan,
yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu.
c.
Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan
antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran
agama Islam dengan sistem bandungan, sorogan ataupun wetonan, dengan para
santri disediakan pondokan yang dalam istilah pendidikan pondok pesantren modern
memenuhi kriteria pendidikan nonformal serta menyelenggarakan juga pendidikan
formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk
tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.[17]
Berdasarkan
kenyataan tersebut, tampaknya sebagian pondok pesantren tetap mempertahankan
bentuk pendidikannya yang asli, sebagian lagi mengalami perubahan. Hal ini
disebabkan oleh tuntutan zaman dan perkembangan pendidikan di tanah air.
Sebagaimana
diketahui, bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia
telah menunjukkan kemampuannya dalam mencetak kader-kader ulama dan telah
berjasa turut mencerdaskan masyarakat Indonesia. Selain tugas utamanya mencetak
kader ulama, pesantren telah menjadi
pusat kegiatan pendidikan yang telah berhasil menanamkan semangat
kewiraswastaan, semangat berdikari yang tidak menggantungkan diri kepada orang
lain.[18]
Didalam
pengelolaannya, pesantren boleh dikatakan masih belum mempunyai dasar yuridis
yang kuat. Ketentuan pengelolaannya secara penuh berada pada pimpinan atau
orang yang terkait dengan pesantren itu sendiri, sedang pembinaan dan
pengembangannya, diarahkan oleh pemerintah (Departemen Agama) dengan dibantu
oleh berbagai instansi pemerintah lainnya. Kendatipun demikian, didalam
menjalankan fungsi dan peranannya, kegiatan pondok pesantren tercakup dalam
“Tri Dharma” pondok pesantren, yaitu:
a.
Keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT.
b.
Pengembangan keilmuan yang bermanfaat.
c.
Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara.[19]
B. Madrasah
Madrasah
merupakan “isim makan” kata “darasa”
dalam bahasa Arab, yang berarti “tempat duduk untuk belajar” atau populer
dengan sekolah. Lembaga pendidikan Islam ini mulai tumbuh di Indonesia pada
awal abad ke-20. Kelahiran madrasah ini tidak terlepas dari ketidakpuasan
terhadap sistem pesantren yang semata-mata menitikberatkan agama, dilain pihak
sistem pendidikan umum justru ketika itu tidak menghiraukan agama. Dengan
demikian, kehadiran madrasah dilatarbelakangi oleh keinginan untuk
memberlakukan secara berimbang antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum
dalam kegiatan pendidikan dikalangan umat Islam.[20]
Memang pada
waktu itu, terdapat dua sistem pendidikan yang sangat berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya. Pemerintah kolonial Belanda yang memperkenalkan
sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang didunia
barat, sedikit banyak mempengaruhi sistem pendidikan yang telah berkembang di
Indonesia, yaitu pesantren. Adanya perbedaan yang sangat kontradiktif dari
kedua sistem pendidikan tersebut rupanya menggugah sebagian penduduk pribumi.
Mereka menyadari akan pentingnya pendidikan umum dengan tidak mengesampingkan dan meninggalkan pola
pendidikan pesantren, sehingga diusahakanlah untuk memadukannya.[21]
Dengan demikian
kita ketahui bahwa permulaan abad ke-20, merupakan masa pertumbuhan dan
perkembangan madrasah hampir diseluruh Indonesia, dengan nama dan tingkatan
yang bervariasi. Namun madrasah-madrasah tersebut pada awal perkembangannya,
masih bersifat diniyah semata-mata. Baru sekitar tahun 1930, sedikit demi
sedikit akan tetapi bertambah cepat, dilakukan pembaharuan terhadap madrasah
dalam rangka memantapkan keberadaannya khususnya dengan penambahan pengetahuan
umum.[22]
Sistem
pendidikan dan pengajaran yang digunakan pada madrasah merupakan perpaduan
antara sistem pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah
modern. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai
dari mengikuti sistem klasikal. Sistem pengajaran kitab diganti dengan
bidang-bidang pelajaran-pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan
kitab-kitab yang lama.
Pada
perkembangan selanjutnya, sistem pondok mulai ditinggalkan, dan berdiri
madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah
modern. Namun demikian, pada tahap-tahap awal madrasah tersebut masih bersifat
diniyah yang cuma mengajarkan pengetahuan agama. Tampaknya, ide-ide pembaharuan
yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa Indonesia sangat
besar pengaruhnya, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum
madrasah, dan terus berproses sebagaimana di gambarkan terdahulu. Buku-buku
pelajaran agama mulai disusun khusus
sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku
pengetahuan umum yang berlaku disekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah
madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah
modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk tingkat dasar, Madrasah
Tsanawiyah (MTs) untuk tingkat SMP, dan ada pula Kuliah Mualimin (pendidikan
guru) yang disebut normal Islam.[23]
Kurikulum
madrasah masih mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, walaupun
dengan presentase yang berbeda. Pada waktu pemerintah RI dalam hal ini
Kementrian Agama mulai mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap sistem
pendidikan madrasah, melalui Kementrian Agama, merasa perlu menentukan kriteria
madrasah. Kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk madrasah-madrasah
yang berada dalam wewenangnya adalah harus memberikan pelajaran agama sebagai
mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu. Adapun pengetahuan umum
yang diajarkan pada madrasah pada masa-masa awal adalah:
a)
Membaca dan menulis (huruf latin) bahasa Indonesia.
b)
Berhitung.
c)
Ilmu bumi.
d)
Sejarah Indonesia dan dunia.
e)
Olahraga dan kesehatan.[24]
C.
Surau
Surau sebagai lembaga
pendidikan islam di Minangkabau, hanya dipaparkan sekitar awal pertumbuhan
surau sampai dengan meredupnya pamor surau. Kondisi ini dilatar belakangi
dengan lahirnya gerakan pembaruan di Minangkabau yang ditandai dengan
berdirinya madrasah sebagai pendidikan alternatif.
Istilah surau di Minagkabau
sudah dikenal sebelun datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau
adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi
sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki
yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Fungsi surau tidak berubah
setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang
diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, pariaman. Pada
masa ini, eksistensi surau disamping sebagai tempat shalat juga digunakan Syekh
Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk).[25]
Sebagai lembaga pendidikan
tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih
diseputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-quran, disamping ilmu-ilmu
keislaman lainnya seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Pada umumnya pendidikan
ini dilaksanakan pada malam hari. Secara bertahap, eksistensi surau sebagai
lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau
pada era ini, yaitu:
a.
Pengajaran Alquran. Untuk mempelajari Alquran ada dua macam tingkatan
1.
Pendidikan rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Alquran dan
membaca Alquran. Disamping itu, juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara
shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal.
2.
Pendidikan atas, yaitu pendidikan membaca Alquran dengan lagu, kasidah,
berzanji, tajwid dan kitab parukunan.
b.
Pengajian Kitab
Materi pendidikan pada jenjang
ini meliputi: ilmu sharaf dan nahu, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu
lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya.
Penekanan pada jenjang ini adalah aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka
metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu
tertentu.
Metode pendidikan yang
digunakan di surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern,
sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya
terletak pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan, sedangkan
kekurangannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks.
Disisi lain metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang
bisa membaca dan menghafal isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa
yang dibaca dan dihafalnya itu.
Dalam posisinya sebagai lembaga
pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis baik dalam proses pengembangan
Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan surau telah mampu
mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme
terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda. Diantara para ulama pendidikan
surau itu adalah Haji Rasul, AR. At Mansur, Abdullah Ahmad dan Hamka.[26]
D.Mesjid
Secara harfiah mesjid adalah
“tempat untuk bersujud”. Namun, dalam arti terminologi, mesjid diartikan
sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang luas.
Pendidikan Islam tingkat pemula lebih baik dilakukan di mesjid sebagai lembaga
pengembangan pendidikan keluarga, sementara itu dibutuhkan suatu lingkaran
(lembaga) dan ditumbuhkannya. Dengan tercipta lingkaran tersebut, bukan berarti
fungsi mesjid berhenti, tetapi tetap memberikan sahamnya dalam menciptakan dan
menimbulkan lingkaran baru lagi.
Dewasa ini fungsi mesjid mulai
menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Nabi SAW. hal ini terjadi karena
lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga mesjid terkesan
sebagai tempat ibadah shalat saja. Pada mulanya mesjid merupakan sentral
kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan,
dan pusat pemukiman serta sebagai tempat ibadah dan i’tikaf.[27]
Implikasi mesjid sebagai lembaga
pendidikan Islam yaitu: Pertama,
mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT. Kedua, menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan
solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
sebagai insan pribadi, sosial. Ketiga,
memberikan rasa ketentraman, kekuatan dan kemakmuran potensi-potensi rohani
manusia melalui pendidikan kesabaran, perenungan, optimisme, dan mengadakan
penelitian.
Fungsi mesjid dapat lebih
efektif bila didalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses
belajar mengajar. Fasilitas yang diperlukan adalah sebagai berikut:
a.
Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai
disiplin keilmuan
b.
Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum dan sesudah shalat
jamaah. Program inilah yang dikenal dengan istilah “i’tikaf ilmiah”.
c.
Ruang kuliah, baik digunakan untuk training (tadrib) remaja mesjid, atau juga untuk Madrasah Diniyah.
d.
Apabila kemungkinan teknik khutbah dapat diubah dengan teknik komunikasi
transaksi, yakni anatara khatib dengan para audien, terjadi dialog aktif satu
sama lain.[28]
E.
Majelis Taklim
Dari segi etimologi, perkataan
majelis taklim berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari dua kata yaitu
majelis dan taklim. Majelis artinya tempat duduk, tempat sidang, dewan. Dan
taklim yang diartikan dengan pengajaran. Denan demikian secara bahasa majelis
taklim adalah tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian ajaran Islam.
Secara istilah, pengertian
majelis taklim sebagaimana dirumuskan pada Musyawarah Majelis Taklim se DKI
jakarta tahun 1980, adalah lembaga pendidikan nonformal Islam yang memiliki
kurikulum tersendiri, diselenggarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti
oleh jama’ah yang relatif banyak, bertujuan untuk membina dan mengembangkan
hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah SWT, antara manusia
dengan sesamanya, serta antara manusia dengan lingkungannya, dalam rangka
membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT.[29]
Majelis taklim mempunyai
kedudukan dan ketentuan tersendiri dalam mengatur pelaksanaan pendidikan atau
dakwah Islamiah, disamping lembaga-lembaga lainnya yang mempunyai tujuan yang
sama. Memang pendidikan non formal dengan sifatnya yang tidak terlalu mengikat
dengan aturan yang ketat dan tetap, merupakan pendidikan yang efektif dan
efisien, cepat menghasilkan, dan sangat baik untuk pengembangan tenaga kerja
dan potensi umat, karena ia digemari masyarakat luas. Efektivitas dan efisiensi
sistem pendidikan ini sudah banyak dibuktikan melalui media pengajian-pengajian
Islam atau majelis taklim yang sekarang banyak tumbuh dan berkembang baik di
desa-desa maupun kota-kota besar.
Oleh karena itu, secara
strategis majelis taklim tersebut adalah menjadi sarana dakwah dan tabligh yang
bercorak Islami, yang berperan sentral pada pembinaan dan peningkatan kualitas
hidup umat Islam sesuai tuntutan ajaran agama.[30]
Sebagai pendidikan non formal, majelis taklim berfungsi sebagai berikut:
a.
Membina dan mengembangkan ajaran Islam dalam rangka membentuk masyarakat
yang bertakwa kepada Allah SWT.
b.
Sebagai taman rekreasi rohani, karena penyelenggaraannya bersifat santai.
c.
Sebagai ajang berlangsungnya silaturrahmi masal, yang dapat menghidup
suburkan dakwah dan ukhuwah Islamiyah.
d.
Sebagai sarana dialog berkesinambungan antara ulama dan umara dengan umat.
e.
Sebagai media penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan
bangsa pada umumnya.[31]
Pertumbuhan majelis taklim dikalangan
masyarakat menunjukkan akan adanya kebutuhan dan hasrat anggota masyarakat
tersebut akan pengetahuan dan pendidikan agama. Dan perkembangan selanjutnya
menunjukkan kebutuhan dan hasrat masyarakat yang lebih luas lagi yaitu, usaha
memecahkan masalah-masalah menuju kehidupan yang lebih bahagia.
F.
Institut Agama Islam Negeri
(IAIN)
Kelahiran Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) tidak lain karena usaha gigih umat Islam, yang mayoritas di
Indonesia ini, dalam usaha mengembangkan sistem pendidikan Islam yang lengkap,
yang dimulai dari sistem pendidikan Pesantren yang sederhana sampai ketingkat
perguruan tinggi.
Keberadaan IAIN tersebut erat
kaitannya dengan cita-cita umat Islam yang ingin memajukan ajaran-ajaran Islam
di Indonesia. Setelah mengalami proses perjuangan melawan imperialis yang
panjang, umat Islam mengalami keterbelakangan dan keterpecahan disemua aspek
kehidupan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan
madrasah terisolasi dari perubahan dan perkembangan zaman.[32]
Dalam sejarahnya, menurut
Mahmud Yunus, bahwa perguruan tinggi Islam pertama kali didirikan dan dibuka
dibawah pimpinannya sendiri pada tanggal 9 Desember 1940 di Padang, Sumatera
barat. Lembaga pendidikan Islam ini terdiri dari dua fakultas yaitu Syariat dan
Bahasa Arab. Tujuan yang diinginkan pada waktu itu adalah untuk mendidik dan
mencetak ulama-ulama yang handal dan berwawasan luas. Pada tahun 1945, tepatnya
pada 8 Juli 1945 dengan bantuan pemerintah pendudukan Jepang, pada saat
peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW didirikan Sekolah Tinggi Islam (STI)
di Jakarta. Tujuannya yaitu pada mulanya adalah untuk mengeluarkan alim ulama
yang intelek, yaitu mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam secara
luas dan mendalam, serta mempunyai pengetahuan umum yang diperlukan dalam
masyarakat modern sekarang.[33]
Pada tanggal 22 Maret 1948, STI
diubah namanya menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), dengan memiliki
beberapa fakultas yaitu Agama, Hukum, Ekonomi, Pendidikan. Perkembangan
selanjutnya pada tanggal 22 Januari 1950, sejumlah pimpinan Islam dan para
ulama juga mendirikan sebuah Universitas Islam di Solo. Dan pada tahun itu juga
fakultas Agama yang semula ada di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
diserahkan ke pemerintah yakni Kementrian Agama, yang kemudian dijadikan
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang dikeluarkannya PP Nomor 34
tahun 1950.
Perguruan Tinggi tersebut
berkembang, dimana UII terus berjalan, sementara itu PTAIN pun kian berkembang.
Apalagi di Jakarta juga didirikan lembaga Pendidikan Tinggi Agama dengan nama
Akademi Dinas Ilmu Agama. Dari perkembangan tersebut akhirnya pada tahun 1960
merupakan bentuk final, dimana antara ADIA Jakarta dan PTAIN Yogyakarta
disatukan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Perpaduan ini tampaknya
merupakan perkembangan yang teramat penting bagi masa depan Islam di Indonesia.[34]
DAFTAR PUSTAKA
Hamdan, Paradigma Baru Pendidikan Muhammadiyah.
Yogyakarta: Ar-Ruz Media. 2009.
Hasbullah, Drs, Kapita Selekta Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996.
Mujib, Abdullah, Dr, M.Ag, Ilmu Pendidikan Islam.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.
Nizar,
Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2008.
Zuhairini,
Dra, dkk, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2008.
Komentar
Posting Komentar